output_0fyRz3

Artikel Madani

Oleh: Abu Misykah

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Dengan berat hati kita melepasnya. Berpisah dari bulan yang berlimpah kebaikan, rahmat, ampunan dan keberkahan. Di dalamnya, hamba beriman memiliki kesempatan besar mengejar ketertinggalan pahala pada hari-hari sebelumnya. Bulan penuh ampunan itu merupakan kesempatan emas mengubur dosa-dosa dan kesalahannya yang telah lalu.

Di Ramadhan ada Lailatul Qadar yang lebih mulia dari seribu bulan. Nilai amal kebaikan di dalamnya lebih baik daripada amal serupa dikerjakan selama seribu bulan yang tanpa Lailatul Qadar di dalamnya. Subhanallah, anugerah besar bagi kaum mukminin.

Namun, ternyata tak semua insan muslim bisa menyukurinya. Juga tak semua bisa sabar dalam mencari ridha Allah di dalamnya; dengan meningkatkan ibadah, shaum, shalat, tilawah, sedekah dan lainnya. Ada yang tergoda gemerlapnya dunia sehingga puasa pun tak dikerjakannya. Ada pula yang berpuasa, tapi ia tak sanggup meninggalkan perbuatan dosa dari perkataan dan perbuatan saat melaksanakannya.

Sehingga saat Ramadhan pergi ia menjadi manusia yang merugi. Kenapa bisa? Karena ia tak mampu memetik pahala dan memanen ganjaran yang berlimpah. Bahkan kesalahan-kesalahannya tak juga dihapuskan, sedangkan dosa-dosanya belum jua diampuni.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah naik ke atas mimbar. Lalu beliau mengucapkan Amiin sebanyak tiga kali. Sebagian sahabat bertanya, “Engaku mengaminkan apa?” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan jawabannya, salah satunya:

وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ

Amat merugi/hina seseorang yang Ramadhan masuk padanya kemudian Ramadhan pergi sebelum diampuni dosanya.” (HR. Al-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, Al-Thabrani, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jaami’, no. 3510)

Ya, orang yang merugi adalah mereka yang dosanya belum terampuni setelah Ramadhan pergi. Mereka itu yang saat berpuasa, namun tidak bisa meninggalkan berkata dusta, menggunjing, mengadu domba, berucap jorok, kotor dan kasar. Mereka yang saat puasa tak barengi meninggakan berbuat dosa dan maksiat, berkelahi, menyia-nyiakan waktu dan kesempatannya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه

Siapa yang tak meninggalkan berkata dan berbuat dusta serta perbuatan bodoh, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari dan Abu Dawud dengan lafadz miliknya) ini merupakan kinayah/kiasan bahwa Allah tiak menerima puasa semacam itu, sebagaimana yang diutarakan Ibnu Bathal dalam Subulus Salam.

Puasa yang demikian tentu tak mampu menegakkan ketakwaan dalam diri shaim. Padahal tujuan dan hikmah utama dari puasa Ramadhan agar pelakunya senantiasa bertakwa. Yakni bertakwa saat menjalankan puasa dan takwa itu berlanjut sesudahnya. Wallahu A’lam. [AM/madanitv.net]

Leave A Comment

Please enter your name. Please enter an valid email address. Please enter message.

HTML Snippets Powered By : XYZScripts.com